Pemerintah Menjawab Kritikan, Bupati Ditantang Bikin Aturan

154

GUNUNGKIDUL – Alasan penggunaan pakaian tradisional yang dikenakan Bupati Gunungkidul dan Kepala-kepala Dinas pada Kamis Pahing 20-7-2023 diklarifikasi Arkham Mashudi.

Selaku Kabag Protokol Komunikasi dan Rumah Tangga Arkham menjawab Kritikan para tokoh pemerhati busana tradisional.

Sorotan publik tidak surut, tetapi sebaliknya. Orang nomor satu di Gunungkidul justru ditantang menerbitkan Perbup, guna melegalkan pakaian yang disebut sebagai Surjan dan Kebaya ciri khas Gunungkidul.

“Setiap Kamis Pahing, ketika kegiatan di kantor, para pejabat tetap memakai gagrak Ngayogyakarta, tapi pada saat ke lapangan, mereka berganti busana lapangan bernuansa budaya Jawa,” demikian Arkham Mashudi mengklarifikasi kritikan masyarakat, 23-7-2023.

Melalui WhatsApp Arkham bilang,
“Menika ageman untuk kegiatan lapangan. Lebih simpel dan tetap bernuansa budaya Jawa. Tujuannya agar lebih dekat dengan semua lapisan masyarakat,” tegasnya.

Surjan dan Kebaya gaya Gunungkidul dikenakan pada momentum Kamis Paingan, Kabag Protokol memperjelas, tidak khusus Kamis Pahing, tetapi hampir setiap kegiatan lapangan yang bernuansa budaya dikenakan pakaian seperti itu.

Baca Juga  Tarung Derajat Latihan Bersama di Gunungkidul

Sementara jika kunjungan lapangan hanya sebentar, maka ketika balik ke kantor para pejabat itu berganti busana gagrak Ngayogyakarta. Ditanya apakah itu tidak repot dan ribet, jawaban Arkham Mashudi simpel.

“Kalau saya tidak merasa repot, karena sudah biasa, siap dengan beberapa pakaian, menyesuaikan kegiatan yang akan dihadiri,” jelas Arkham Mashudi.

Slamet, S.Pd. MM Ketua Dewan Penasehat DPC Partai Gerindra yang mantan guru sekolah, juga guru politik Bupati Sunaryanta tidak tahan. Dia terpancing angkat bicara.

“Terus terang saya ikut prihatin. Pejabat publik tidak mendukung penguatan budaya jati diri yang sudah dibakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta,” ujarnya.

Andaikata mau bikin model yang berbeda, demikian Slamet yang nyaleg propinsi dari Partai Gerindra itu menambahkan, ya jangan pada kegiatan resmi yang sudah dibakukan seperti Kamis Pahing. Itu sudah ada di dalam Pergub DIY.

Baca Juga  LIANG KUBUR UNTUK RIBUAN KORUPTOR

Oke, sambung Purwanto, ST, Ketua DPC Partai Gerindra Gunungkidul. Dia satu pemikiran dengan Slamet S.Pd. MM.

“Saya bertanya, beranikah Sunaryanta menerbitkan Peraturan Bupati. Isinya memuat detail pakaian lapangan yang dijelaskan Kabag Protokol,” tegasnya.

Jadi, kata Purwanto, pakaian lapangan itu standarnya harus jelas, mulai dari ikat kepala, surjan, kebaya, celana, hingga alas kaki. Perlu dibakukan di dalam Perbub tidak boleh sembarang. Supaya publik tidak bingung dan bertanya-tanya.

“Setuju. Sebab, ajining raga amarga ngadi busana,” timpal Mugiharto, mantan Lurah Kedungpoh, Kapanewon Nglipar, menggarisbawahi, pernyataan Purwanto, ST.

Winaryo, mantan Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang GunungkIdul pun menyatakan, pakaian yang disebut sebagai Gunungkidulan itu sumbernya tidak jelas.

Baca Juga  Di Kandang Kambing Warga Gunungkidul Gantung Diri

“Padahal Gunungkidul itu Kabupaten yang Handayani. Artinya, Hijau, Aman, Normatif, Dinamis, Yakin, Asah Asih Asuh, Nilai Tambah, Indah,” kata Winaryo mengingatkan.

Menurutnya, termasuk normatif dalam berbusana. Mana ada, kata Winaryo, surjan tanpa kancing.

Dia mengutip dari beberapa sumber, kancing surjan pada krag jumlahnya 6 (enam). Itu simbol rukun iman. Sementara di bagian dada ada dua kancing adalah melambangkan dua kalimah syahadat.

Berbeda dengan para pengritik, Drs. Agus Kamtono, MM, anggota Dewan Kebudayaan Gunungkidul menilai, pakaian Bupati dan para pejabat itu berkaitan dengan semangat dalam memajukan pariwisata.

“Pakaian khas Gunungkidul itu harapannya demi pengembangan kebudayaan. Arahnya ke industri wisata budaya, sehingga dapat meningkatkan kunjungan wisata di Gunungkidul,” kata Agus Kamtono, Ketua Bidang Kuratorial Dewan Kebudayaan, yang mantan Kepala Dinas Kebudayaan Gunungkidul itu.

(Bambang Wahyu)