Bupati Dikritik Karena Kamis Pahing Berpakaian ‘Nyentrik’

168

GUNUNGKIDUL- Pakaian tradisional gaya Yogyakarta telah dibakukan. Sejumlah tokoh jajaran eksekutif Gunungkidul memilih pakaian tradisional gaya ‘nyentrik’ (modifikasi).

Secara normatif pakaian yang digunakan sejumlah Gunungkidul itu selaras atau berseberangan dengan budaya Jogja? Tokoh di luar pemerintahan menganalisa secara kritisi.

“Setahu saya, PNS laki-kaki pada hari Kemis Paing itu mengenakan surjan lurik atau polos, sementara PNS perempuan mengenakan kebaya tangkep, gelung tekuk,” ujar CB Supriyanto, mantan Ketua Dewan Kebudayaan GunungkIdul, 22-7-2023.

Pernyataan CB Supriyanto terkait dengan pakaian yang dikenakan Bupati dan jajaran organisasi pemerintah daerah (OPD) pada ulang tahun ke-205 Desa Piyaman, Kapanewon Wonosari, Kamis Pahing 20-7-2023.

Sepanjang di luar Kamis Paing, menurut Joko Priyatmo (Jepe) seorang pengamat pakaian tradisional gagrak Yogyakarta, tidak ada masalah.

“Mau mengenakan kaos bercelana jeans sepatu jinggel, pada upacara seperti di piaman kemarin adalah bebas,” tuturnya menimpali kritikan CB Supriyanto.

Baca Juga  Pertamina Patra Niaga Gandeng PT Vale untuk Pionir Transformasi Hijau Melalui HVO

Tetapi lanjut JP, Kamis Pahing itu bertepatan dengan hari berdirinya negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Menjadi tidak elok kalau mengenakan pakaian semaunya sendiri, tidak berdasarkan aturan baku yang telah ditetapkan.

Sebagaimana diketahui, Peraturan Gubernur DIY Nomor 87 Tahun 2017 telah menetapkan pakaian Tradisional Jawa gaya Yogyakarta.

Pakaian tradisional itu adalah pakaian dengan model tertentu mengacu yang dipakai abdi dalem kasultanan Yogyakarta dan kadipaten pakualaman.

Pakaian tradisional tersebut berfungsi sebagai salah satu identitas pegawai dalam rangka penguatan kebudayaan Yogyakarta, sekaligus digunakan sebagai sarana pembinaan dan pengawasan pegawai.

Penggunaan pakaian tradisional bagi PNS atau CPNS pejabat struktural pejabat fungsional tertentu, pejabat fungsional umum PPPK, PTT dan instansi pusat di daerah adalah sama.

Baca Juga  Sistem Pendaftaran Bacaleg Ke KPUD Berubah

Pegawai laki-laki baju surjan bahan dasar lurik atau polos. Blangkon gaya Yogyakarta, boleh motif Modang, kumitir, blumbagan, boleh juga motif hulung.

Pegawai perempuan berbaju kebaya tangkepan dengan bahan dasar lurik atau warna polos kain atau jarik batik yang diwiru biasa, berlatar warna ireng putih menggunakan gelung tekuk tanpa aksesoris.

Apa yang salah dengan pakaian tradisional yang dikenakan Bupati dan para Kepala-kepala Dinas.

“Tidak ada yang salah. Tetapi kami prihatin, pakaian Gagrak Ngayogyakarta itu penuh fulosofi penetapannya melalui proses panjang sejak Kraton Ngayogyakarta berdiri. Kini tiba-tiba masyarakat dipaksa atau dikenalkan Pakaian Gunungkidulan. Kita lihat semua OPD sudah melaksanakan instruksi itu, berbeda dengan aturan di dalam Pergub,” kata Ketua PMI Gunungkidul.

Baca Juga  Hujan dan Angin Kencang di DIY, Sejumlah Pohon Tumbang, Bangunan Roboh

Mantan Penewu Wonosari itu mencatat, tokoh Gunungkidul yang laki gemar mengenakan:
1. Surjan tanpa krag, tanpa kancing, seperti baju koko
2.
tutup kepala bukan blangkon, cenderung suka memakai ikat kepala
3. Surjan outer, surjan luar, masih mengenakan baju dalam.

Yang tokoh perempuan juga hebat, karena semakin gemar berkebaya outer dengan satu kancing baju. Kebaya hanya merupakan aksesoris. Tambah menggelikan pakai kebaya tetapi mengenakan kabaret.

Di kalangan pemerintahan mulai ada yang merasa risih melihat kecenderungan pakaian yang digunakan oleh pemimpin mereka

“Kalau sengaja disebarluaskan supaya masyarakat mengikuti gerakan penggunaan pakaian seperti itu panda upacara resmi yang berkaitan dengan keistimewaan DIY, saya akan melakukan perlawanan,” kata seorang PNS yang tidak mau disebut identitasnya.

(Bambang Wahyu)